بسم الله و الصلاة والسلا م على رسول الله و على آله وأصحابه و من اتبع هداه، أما بعد
Alhamdulillah, puja dan syukur kita panjatkan kepada Allah serta sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan seluruh pengikutnya.
Segala puji bagi Allah yang dengan rahmat dan kasih sayangNya, memberikan kepada segenap kaum mukminin berbagai jalan menuju keridhoanNya.
Diantara bentuk kasih sayangNya, Allah menganjurkan kepada kita untuk banyak berpuasa, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ
“Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang bernama ar-royyaan, yang akan dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa, tidak ada seorang pun yang akan memasukinya selain mereka.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu’anhu]
Dalam hadits Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu’anhu,
فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ ، مُرْنِي بِعَمَلٍ آخُذُهُ عَنْكَ يَنْفَعُنِي اللَّهُ بِهِ . قَالَ : عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ ؛ فَإِنَّهُ لاَ مِثْلَ لَهُ . قَالَ : فَكَانَ أَبُو أُمَامَةَ وَامْرَأَتُهُ وَخَادِمُهُ لاَ يُلْفَوْنَ إِلاَّ صِيَامًا ، فَإِذَا رَأَوْا نَارًا أَوْ دُخَانًا بِالنَّهَارِ فِي مَنْزِلِهِمْ عَرَفُوا أَنَّهُمْ اعْتَرَاهُمْ ضَيْفٌ
“Aku berkata: Wahai Rasulullah ajarkan kepadaku sebuah amalan yang dengannya Allah memberikan manfaat kepadaku. Beliau pun bersabda, “Hendaklah engkau berpuasa karena tidak ada ibadah yang semisalnya.” Maka setelah itu, tidaklah terlihat Abu Umamah, istrinya dan pembantunya melainkan dalam keadaan berpuasa, lalu apabila orang-orang melihat di rumahnya ada api atau asap mengepul di siang hari maka mereka pun tahu bahwa ada tamu yang berkunjung.” [HR. Ahmad, Shahihul Jaami’: 4044]
Dan termasuk yang dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam adalah berpuasa di bulan muharram, beliau bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَان شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ
“Puasa yang paling afdhol setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Kemudian yang menjadi permasalahan adalah, apakah dianjurkan berpuasa sebulan penuh atau kebanyakannya di bulan muharram selain tanggal 9 dan 10?
Jawabannya adalah, dianjurkan berpuasa sebulan penuh atau kebanyakannya, sebagaimana yang bisa langsung dipahami dari zhahir lafal hadits tersebut. Demikianlah yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Muflih rahimahullah,
أفضل شهر تطوع به كاملا بعد رمضان شهر الله المحرم؛ لأن بعض التطوع قد يكون أفضل من أيامه كعرفة، وعشر ذي الحجة
“Maksud dari haditsnya adalah puasa sebulan penuh setelah Ramadan yang paling afdhol adalah bulan Allah, yaitu Muharram, karena sebagian puasa sunnah bisa jadi ada yang lebih afdhol hari-harinya seperti puasa hari arofah, dan puasa sepuluh hari di awal Dzulhijjah.” [Mubdi’ Syarah Muqni’, 3/51]
Demikian juga yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Lathoiful Ma’arif pada hal. 55 tatkala beliau menjelaskan tentang hadits tersebut, hampir semakna dengan penjelasan Ibnu Muflih.
Demikian juga yang dipahami oleh Mulla Ali Al-Qori rahimahullah dalam Mirqotul Mafatih (4/1411) nomor hadits 2039, tatkala menjelaskan makna hadits tentang keutamaan puasa di bulan muharram, beliau berkata, “Berkata At-Thiibi: Maksudnya puasa bulan muharram adalah puasa asyura”. Akan tetapi disanggah oleh beliau dengan perkataanya,
فيكون من باب ذكر الكل وإرادة البعض، ويمكن أن يقال أفضليته لما فيه من يوم عاشوراء لكن الظاهر أن المراد جميع شهر المحرم
“(Kalau demikian yang dikehendaki Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) berarti hal itu termasuk bab penyebutan keseluruhan sedangkan yang diinginkan sebagian, dan mungkin dikatakan keutamaannya karena di situ ada hari Asyura akan tetapi zhohir hadits justru yang diinginkan adalah (berpuasa) sebulan penuh (semua hari) di bulan Muharram.”
Dijelaskan juga oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalus Syaikh rahimahullah dalam Syarah Adab Al-Masy ilaas Sholah, beliau berkata,
وصوم المحرم يندب صيام المحرم كله (وأفضله التاسع والعاشر) أفضله وآكده
“Disunnahkan puasa bulan muharram semuanya (sebulan penuh) dan yang paling afdhol dan yang paling ditekankan harinya adalah yang ke 9 dan 10.”
Demikian juga fatwa Syaikh Bin Baz rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa beliau jilid 15 hal 415 soal no. 168, beliau membawakan hadits tersebut kemudian beliau berkata,
“Apabila berpuasa semuanya (sebulan penuh) maka itu bagus atau berpuasa 9, 10, 11 itu sunnah.”
Sebagaimana fatwa beliau di Nur ‘ala Darb (bisa dilihat di situs resmi beliau) ketika ditanya tentang puasa Muharram, beliau berdalil dengan hadits di atas seraya menegaskan,
“Makna hadits adalah berpuasa (Muharram) dari awal sampai akhir.”
Di akhir fatwa beliau berkata,
“Kalau berpuasa sebulan penuh maka itu lebih afdhol baginya.”
Demikian juga fatwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Nurun ‘ala Darb jilid 11 hal. 2, tatkala beliau ditanya tentang hukum puasa Muharam sebulan penuh dari tanggal 1 sampai 30 maka beliau menjawab,
“(Hukumnya) sunnah karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, puasa yang paling afdhol setelah ramadan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram.”
Demikian juga fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah (sebagaimana di situs resmi beliau dan di situs alathaariy), tatkala beliau ditanya tentang berpuasa Muharram sebulan penuh, beliau menjawab,
“Tidak apa-apa berpuasa sebulan penuh atau kebanyakan harinya (puasa sebanyak mungkin di bulan Muharram) dan yang paling afdhol harinya yang ke 9 dan 10.”
Beliau juga berdalil tentang keutamaan puasa sebulan penuh di bulan muharran dengan hadits tersebut.
Dan barangkali yang akan menjadi pertanyaan adalah, bukankah ada hadits yang sahih dari Aisyah radhiyallahu’anha bahwa beliau berkata,
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari pada di bulan Sya’ban”.
Penjelasannya sebagai berikut:
Hadits Aisyah radhiyallahu’anha tersebut ada beberapa lafal tambahan sebagaimana dalam Shahih Al-Bukhori no. 1970 disebutkan,
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّه
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa Sya’ban semuanya.”
Adapun tambahan dalam Shahih Muslim no. 1156 disebutkan,
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّه كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa Sya’ban semuanya, (sebagaimana) beliau berpuasa Sya’ban hampir semuanya kecuali sedikit.”
Ada riwayat juga dari beliau (Aisyah) dan Ummu Salamah dalam Sunan At-Tirmidzi (736) disebutkan,
كَانَ يَصُومُهُ إِلاَّ قَلِيلاً بَلْ كَانَ يَصُومُهُ كُلَّه
“Rasululllah shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa kebanyakannya kecuali sedikit dan bahkan beliau berpuasa semuanya.” [Shahihut Targhib: 1024]
Dalam riwayat Ummu Salamah radhiyallahu’anha dengan lafal,
مَا رَأَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلاَّ شَعْبَانَ وَرَمَضَان
“Tidak pernah aku melihat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali Sya’ban dan Ramadhan.” [Shahihut Targhib: 1025]
Telah dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah,
قال الترمذي كأن بن المبارك جمع بين الحديثين بذلك وحاصله أن الرواية الأولى مفسرة للثانية مخصصة لها وأن المراد بالكل الأكثر وهو مجاز قليل الاستعمال واستبعده الطيبي قال لأن الكل تأكيد لإرادة الشمول ودفع التجوز فتفسيره بالبعض مناف له قال فيحمل على أنه كان يصوم شعبان كله تارة ويصوم معظمه أخرى لئلا يتوهم أنه واجب كله كرمضان
“Berkata Imam Tirmidzi: Sepertinya Ibnul Mubaarak mengkompromikan antara dua hadits tersebut, dan hasilnya, hadits pertama dikhususkan dengan hadits kedua, dan maksud sebulan penuh adalah kebanyakan harinya, akan tetapi itu adalah majaz yang jarang dipakai (dalam bahasa Arab) dan (yang demikian) telah dianggap jauh (dari pemahaman yang benar) oleh Imam Ath-Thibi, beliau berkata: Karena kata (الكل) “semua” sebagai bentuk penekanan bahwa yang diinginkan adalah keseluruhan, dan dalam kesempatan ini sebagai bentuk penolakan terhadap majaz, dan menafsirkan kata “semua” dengan sebagian bertentangan dengan hal tersebut (penekanan yang diinginkan adalah keseluruhan). Kemudian beliau berkata: Maka maknanya yang diinginkan adalah bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa Sya’ban sebulan penuh terkadang, dan kali lain kebanyakan harinya agar jangan dikira wajib semuanya seperti Ramadhan.” [Fathul Bari, 4/214]
Berkata Al-‘Aini rahimahullah dalam Syarah A-Bukhori karya beliau, tatkala menukil perkataan Imam Tirmidzi dari ibnul Mubarak rahimahumullah,
وقال شيخنا زين الدين، رحمه الله تعالى: هذا فيه ما فيه، لأنه قال فيه إلا شعبان ورمضان، فعطف رمضان عليه يبعد أن يكون المراد بشعبان أكثره، إذ لا جائز أن يكون المراد برمضان بعضه، والعطف يقتضي المشاركة فيما عطف عليه
“Berkata guru kami Zainnuddin rahimahullah (atas tafsiran Ibnul Mubaarok), ada pembahasan di dalamnya karena disebutkan dengan lafal (شعبان ورمضان) “Sya’ban dan Ramadhan,” digabungkan antara Sya’ban dan Ramadhan, sementara penggabungan (‘athf) antara Ramadhan dengan Sya’ban membuat jauh penafsiran puasa “Sya’ban” dengan “berpuasa pada kebanyakannya” karena tidak boleh diinginkan dengan “Ramadhan” adalah “sebagian Ramadhan saja,” karena penggabungan (‘athf) tersebut mengharuskan adanya kesamaan satu dengan yang lainnya (sama-sama berpuasa sebulan penuh),” kecuali dibangun diatas mazhab yang mengatakan, lafal satu bisa dibawa ke dua makna hakikat dan majaz.” Dikomentari oleh Al-‘Aini: Itupun tidak bisa dalam permasalahan ini, karena di sini bukan satu lafal tapi ada dua lafal, yaitu: Sya’ban dan Ramadhan.”
Demikian juga dikatakan oleh Mulla Ali Al-Qori rahimahullah dalam Al-Mirqoh nomor hadits 2036 (4/1409),
قال النووي: الثاني تفسير للأول، وبيان قولها كله أي غالبه اهـ. وهو تأويل بعيد، حمله عليه قولها في الرواية الأولى ” قط إلا رمضان ” وقيل: المراد أنه يصومه كله في سنة وأكثره في سنة أخرى فالمعنى على العطف اهـ. وهو أقرب لظاهر اللفظ
“Berkata Imam Nawawi, “Lafal kedua sebagai tafsir yang pertama, dan penjelasan makna “semuanya” yang dimaksudkan adalah: kebanyakan,” namun ini takwil yang jauh (dari kebenaran) karena dia melihat perkataannya (Aisyah) pada riwayat pertama “Sama sekali tidak kecuali Ramadhan.” Dan dikatakan pula yang dimaksud adalah beliau berpuasa Sya’ban terkadang di suatu tahun semuanya dan terkadang sebagian besarnya di tahun yang lain, dan itu makna (العطف) “penggabungan Ramadhan dan Sya’ban,” dan ini lebih dekat dengan zhohir lafaz.”
Dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terkadang berpuasa sebulan penuh selain Ramadhan.
Demikian juga dikatakan oleh Syaikh Bin Baz rahimahullah di fatawanya (15/416),
وهكذا شعبان فقد كان يصومه كله صلى الله عليه وسلم، وربما صامه إلا قليلا كما صح ذلك من حديث عائشة وأم سلمة رضي الله عنهما
“Demikian juga Sya’ban, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa semuanya dan terkadang kebanyakan harinya kecuali sedikit, sebagaimana telah shahih dari hadits Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu’anha.”
Tambahan faidah tentang puasa Sya’ban:
Pertama: Ada hadits tentang larangan mendahului Ramadhan dengan berpuasa sunnah satu atau dua hari.
Kedua: Ada hadits tentang larangan berpuasa sunnah melewati pertengahan Sya’ban.
Maka penjelasannya adalah sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari,
“Larangan tersebut bagi orang yang tidak biasa berpuasa sunnah di hari-hari itu, adapun yang sudah terbiasa maka tidak mengapa.”
Adapun hadits yang kedua dishahihkan oleh para imam: At-Tirmidzi, Al-Hakim, Ibnu Hibban, Ath-Thohawi dan Ibnu Abdil Barr, akan tetapi ditegaskan oleh Ibnu Rajab bahwa hadits ini diingkari oleh imam-imam yang lebih besar dan lebih tinggi keilmuannya seperti Abdurrahman bin Mahdi, Ahmad, Abu Zur’ah dan Al-Atsrom, dan memang berdasarkan kaidah-kaidah dalam ilmu ‘ilal hadits, maka hadits tersebut dikategorikan hadits yang mungkar, dan mungkin di kesempatan yang lain ada baiknya kita jabarkan argumentasi-argumentasi tentang kemungkaran hadits tersebut. Dan kalaupun dianggap sahih maka maknanya sama seperti penjelasan sebelumnya, yaitu larangan bagi yang tidak biasa berpuasa sunnah di hari-hari tersebut.
Kembali kepada pembahasan puasa Muharram, bukankah haditsnya mengatakan, “Puasa yang paling afdhol setelah ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram,” yang menjadi pertanyaan, mengapa justru faktanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lebih banyak berpuasa di bulan Sya’ban?
Maka penjelasannya sebagai berikut:
Dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim,
أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم تصريح بأنه أفضل الشهور للصوم وقد سبق الجواب عن إكثار النبي صلى الله عليه وسلم من صوم شعبان دون المحرم وذكرنا فيه جوابين أحدهما لعله إنما علم فضله في آخر حياته والثاني لعله كان يعرض فيه أعذار من سفر أو مرض
“Hadits tersebut sangat gamblang menunjukkan bahwa bulan yang paling afdhol untuk berpuasa (sunnah) adalah Muharram, namun telah berlalu jawaban tentang kebanyakan puasa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam adalah bulan Sya’ban bukan Muharram, maka jawabannya ada dua, yang pertama bisa jadi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam baru mengetahui keutamaannya di akhir hidupnya (sehingga belum sempat melakukannya) yang kedua bisa jadi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memiliki uzur sakit atau safar.”
Dijelaskan juga oleh Imam Ibnu Rajab dalam Lathoiful Ma’arif (56), yang intinya beliau membagi puasa sunnah ada dua:
Pertama puasa sunnah muthlaq, maka yang paling afdhol adalah puasa Muharram.
Kedua puasa yang mengiringi Ramadhan, baik sebelum dan setelahnya, maka yang ini lebih afdhol dari puasa sunnah muthlaq.
Permasalahan yang berikutnya:
Tatkala dikatakan tentang keutamaan puasa Muharram sebulan penuh atau kebanyakan harinya, demikian juga Sya’ban, maka akan timbul pertanyaan, bukankah salah seorang sahabat yang mulia yaitu Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma melarang seseorang berpuasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan?
Jawabannya sebagai berikut:
Pertama: Telah lewat penjabaran tentang anjuran dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk berpuasa Muharram dan praktek beliau tatkala berpuasa Sya’ban selama sebulan penuh dan terkadang kebanyakan harinya.
Kedua: Disebutkan dalam Mushonnaf IbnI Abi Syaibah dan yang lainnya, serta dipertegas oleh Imam Nawawi di dalam Al-Majmu’ Syarah Muhadzab bahwa banyak dari para sahabat yang berpuasa setiap hari selama sebulan penuh selama tidak memudaratkan diri sendiri maupun orang lain dengan melalaikan hak orang lain, dan selama bukan hari-hari yang dilarang berpuasa (yaitu dua hari raya dan tiga hari tasyriq). Diantara yang melakukannya Umar, Utsman, Ibnu umar, Aisyah, Abu Umamah, dan masih banyak dari para salaf yang lainnya radhiyallahu’anhum.
Kesimpulan:
Dianjurkan untuk berpuasa sebulan penuh di bulan Muharram atau kebanyakannya, demikian juga bulan Sya’ban selama tidak menimbulkan kemudaratan terhadap diri sendiri ataupun orang lain.
Dan insya Allah ta’ala pada kesempatan yang lain akan kita bahas permasalahan yang hampir sama bentuknya, yaitu hadits Aisyah radhiyallahu’anha yang menyatakan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa di hari-hari awal sepuluh Dzulhijjah, sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah disunnahkan berpuasa di hari-hari tersebut?
Dan hadits Aisyah radhiyallahu’anha juga yang menyebutkan beliau tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melakukan sholat dhuha, sehingga timbul pertanyaan, apakah sholat dhuha disunnahkan?
وبالله التوفيق والحمد لله رب العالمين
Alhamdulillah, puja dan syukur kita panjatkan kepada Allah serta sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan seluruh pengikutnya.
Segala puji bagi Allah yang dengan rahmat dan kasih sayangNya, memberikan kepada segenap kaum mukminin berbagai jalan menuju keridhoanNya.
Diantara bentuk kasih sayangNya, Allah menganjurkan kepada kita untuk banyak berpuasa, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ
“Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang bernama ar-royyaan, yang akan dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa, tidak ada seorang pun yang akan memasukinya selain mereka.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu’anhu]
Dalam hadits Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu’anhu,
فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ ، مُرْنِي بِعَمَلٍ آخُذُهُ عَنْكَ يَنْفَعُنِي اللَّهُ بِهِ . قَالَ : عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ ؛ فَإِنَّهُ لاَ مِثْلَ لَهُ . قَالَ : فَكَانَ أَبُو أُمَامَةَ وَامْرَأَتُهُ وَخَادِمُهُ لاَ يُلْفَوْنَ إِلاَّ صِيَامًا ، فَإِذَا رَأَوْا نَارًا أَوْ دُخَانًا بِالنَّهَارِ فِي مَنْزِلِهِمْ عَرَفُوا أَنَّهُمْ اعْتَرَاهُمْ ضَيْفٌ
“Aku berkata: Wahai Rasulullah ajarkan kepadaku sebuah amalan yang dengannya Allah memberikan manfaat kepadaku. Beliau pun bersabda, “Hendaklah engkau berpuasa karena tidak ada ibadah yang semisalnya.” Maka setelah itu, tidaklah terlihat Abu Umamah, istrinya dan pembantunya melainkan dalam keadaan berpuasa, lalu apabila orang-orang melihat di rumahnya ada api atau asap mengepul di siang hari maka mereka pun tahu bahwa ada tamu yang berkunjung.” [HR. Ahmad, Shahihul Jaami’: 4044]
Dan termasuk yang dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam adalah berpuasa di bulan muharram, beliau bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَان شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ
“Puasa yang paling afdhol setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Kemudian yang menjadi permasalahan adalah, apakah dianjurkan berpuasa sebulan penuh atau kebanyakannya di bulan muharram selain tanggal 9 dan 10?
Jawabannya adalah, dianjurkan berpuasa sebulan penuh atau kebanyakannya, sebagaimana yang bisa langsung dipahami dari zhahir lafal hadits tersebut. Demikianlah yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Muflih rahimahullah,
أفضل شهر تطوع به كاملا بعد رمضان شهر الله المحرم؛ لأن بعض التطوع قد يكون أفضل من أيامه كعرفة، وعشر ذي الحجة
“Maksud dari haditsnya adalah puasa sebulan penuh setelah Ramadan yang paling afdhol adalah bulan Allah, yaitu Muharram, karena sebagian puasa sunnah bisa jadi ada yang lebih afdhol hari-harinya seperti puasa hari arofah, dan puasa sepuluh hari di awal Dzulhijjah.” [Mubdi’ Syarah Muqni’, 3/51]
Demikian juga yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Lathoiful Ma’arif pada hal. 55 tatkala beliau menjelaskan tentang hadits tersebut, hampir semakna dengan penjelasan Ibnu Muflih.
Demikian juga yang dipahami oleh Mulla Ali Al-Qori rahimahullah dalam Mirqotul Mafatih (4/1411) nomor hadits 2039, tatkala menjelaskan makna hadits tentang keutamaan puasa di bulan muharram, beliau berkata, “Berkata At-Thiibi: Maksudnya puasa bulan muharram adalah puasa asyura”. Akan tetapi disanggah oleh beliau dengan perkataanya,
فيكون من باب ذكر الكل وإرادة البعض، ويمكن أن يقال أفضليته لما فيه من يوم عاشوراء لكن الظاهر أن المراد جميع شهر المحرم
“(Kalau demikian yang dikehendaki Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) berarti hal itu termasuk bab penyebutan keseluruhan sedangkan yang diinginkan sebagian, dan mungkin dikatakan keutamaannya karena di situ ada hari Asyura akan tetapi zhohir hadits justru yang diinginkan adalah (berpuasa) sebulan penuh (semua hari) di bulan Muharram.”
Dijelaskan juga oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalus Syaikh rahimahullah dalam Syarah Adab Al-Masy ilaas Sholah, beliau berkata,
وصوم المحرم يندب صيام المحرم كله (وأفضله التاسع والعاشر) أفضله وآكده
“Disunnahkan puasa bulan muharram semuanya (sebulan penuh) dan yang paling afdhol dan yang paling ditekankan harinya adalah yang ke 9 dan 10.”
Demikian juga fatwa Syaikh Bin Baz rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa beliau jilid 15 hal 415 soal no. 168, beliau membawakan hadits tersebut kemudian beliau berkata,
“Apabila berpuasa semuanya (sebulan penuh) maka itu bagus atau berpuasa 9, 10, 11 itu sunnah.”
Sebagaimana fatwa beliau di Nur ‘ala Darb (bisa dilihat di situs resmi beliau) ketika ditanya tentang puasa Muharram, beliau berdalil dengan hadits di atas seraya menegaskan,
“Makna hadits adalah berpuasa (Muharram) dari awal sampai akhir.”
Di akhir fatwa beliau berkata,
“Kalau berpuasa sebulan penuh maka itu lebih afdhol baginya.”
Demikian juga fatwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Nurun ‘ala Darb jilid 11 hal. 2, tatkala beliau ditanya tentang hukum puasa Muharam sebulan penuh dari tanggal 1 sampai 30 maka beliau menjawab,
“(Hukumnya) sunnah karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, puasa yang paling afdhol setelah ramadan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram.”
Demikian juga fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah (sebagaimana di situs resmi beliau dan di situs alathaariy), tatkala beliau ditanya tentang berpuasa Muharram sebulan penuh, beliau menjawab,
“Tidak apa-apa berpuasa sebulan penuh atau kebanyakan harinya (puasa sebanyak mungkin di bulan Muharram) dan yang paling afdhol harinya yang ke 9 dan 10.”
Beliau juga berdalil tentang keutamaan puasa sebulan penuh di bulan muharran dengan hadits tersebut.
Dan barangkali yang akan menjadi pertanyaan adalah, bukankah ada hadits yang sahih dari Aisyah radhiyallahu’anha bahwa beliau berkata,
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari pada di bulan Sya’ban”.
Penjelasannya sebagai berikut:
Hadits Aisyah radhiyallahu’anha tersebut ada beberapa lafal tambahan sebagaimana dalam Shahih Al-Bukhori no. 1970 disebutkan,
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّه
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa Sya’ban semuanya.”
Adapun tambahan dalam Shahih Muslim no. 1156 disebutkan,
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّه كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa Sya’ban semuanya, (sebagaimana) beliau berpuasa Sya’ban hampir semuanya kecuali sedikit.”
Ada riwayat juga dari beliau (Aisyah) dan Ummu Salamah dalam Sunan At-Tirmidzi (736) disebutkan,
كَانَ يَصُومُهُ إِلاَّ قَلِيلاً بَلْ كَانَ يَصُومُهُ كُلَّه
“Rasululllah shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa kebanyakannya kecuali sedikit dan bahkan beliau berpuasa semuanya.” [Shahihut Targhib: 1024]
Dalam riwayat Ummu Salamah radhiyallahu’anha dengan lafal,
مَا رَأَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلاَّ شَعْبَانَ وَرَمَضَان
“Tidak pernah aku melihat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali Sya’ban dan Ramadhan.” [Shahihut Targhib: 1025]
Telah dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah,
قال الترمذي كأن بن المبارك جمع بين الحديثين بذلك وحاصله أن الرواية الأولى مفسرة للثانية مخصصة لها وأن المراد بالكل الأكثر وهو مجاز قليل الاستعمال واستبعده الطيبي قال لأن الكل تأكيد لإرادة الشمول ودفع التجوز فتفسيره بالبعض مناف له قال فيحمل على أنه كان يصوم شعبان كله تارة ويصوم معظمه أخرى لئلا يتوهم أنه واجب كله كرمضان
“Berkata Imam Tirmidzi: Sepertinya Ibnul Mubaarak mengkompromikan antara dua hadits tersebut, dan hasilnya, hadits pertama dikhususkan dengan hadits kedua, dan maksud sebulan penuh adalah kebanyakan harinya, akan tetapi itu adalah majaz yang jarang dipakai (dalam bahasa Arab) dan (yang demikian) telah dianggap jauh (dari pemahaman yang benar) oleh Imam Ath-Thibi, beliau berkata: Karena kata (الكل) “semua” sebagai bentuk penekanan bahwa yang diinginkan adalah keseluruhan, dan dalam kesempatan ini sebagai bentuk penolakan terhadap majaz, dan menafsirkan kata “semua” dengan sebagian bertentangan dengan hal tersebut (penekanan yang diinginkan adalah keseluruhan). Kemudian beliau berkata: Maka maknanya yang diinginkan adalah bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa Sya’ban sebulan penuh terkadang, dan kali lain kebanyakan harinya agar jangan dikira wajib semuanya seperti Ramadhan.” [Fathul Bari, 4/214]
Berkata Al-‘Aini rahimahullah dalam Syarah A-Bukhori karya beliau, tatkala menukil perkataan Imam Tirmidzi dari ibnul Mubarak rahimahumullah,
وقال شيخنا زين الدين، رحمه الله تعالى: هذا فيه ما فيه، لأنه قال فيه إلا شعبان ورمضان، فعطف رمضان عليه يبعد أن يكون المراد بشعبان أكثره، إذ لا جائز أن يكون المراد برمضان بعضه، والعطف يقتضي المشاركة فيما عطف عليه
“Berkata guru kami Zainnuddin rahimahullah (atas tafsiran Ibnul Mubaarok), ada pembahasan di dalamnya karena disebutkan dengan lafal (شعبان ورمضان) “Sya’ban dan Ramadhan,” digabungkan antara Sya’ban dan Ramadhan, sementara penggabungan (‘athf) antara Ramadhan dengan Sya’ban membuat jauh penafsiran puasa “Sya’ban” dengan “berpuasa pada kebanyakannya” karena tidak boleh diinginkan dengan “Ramadhan” adalah “sebagian Ramadhan saja,” karena penggabungan (‘athf) tersebut mengharuskan adanya kesamaan satu dengan yang lainnya (sama-sama berpuasa sebulan penuh),” kecuali dibangun diatas mazhab yang mengatakan, lafal satu bisa dibawa ke dua makna hakikat dan majaz.” Dikomentari oleh Al-‘Aini: Itupun tidak bisa dalam permasalahan ini, karena di sini bukan satu lafal tapi ada dua lafal, yaitu: Sya’ban dan Ramadhan.”
Demikian juga dikatakan oleh Mulla Ali Al-Qori rahimahullah dalam Al-Mirqoh nomor hadits 2036 (4/1409),
قال النووي: الثاني تفسير للأول، وبيان قولها كله أي غالبه اهـ. وهو تأويل بعيد، حمله عليه قولها في الرواية الأولى ” قط إلا رمضان ” وقيل: المراد أنه يصومه كله في سنة وأكثره في سنة أخرى فالمعنى على العطف اهـ. وهو أقرب لظاهر اللفظ
“Berkata Imam Nawawi, “Lafal kedua sebagai tafsir yang pertama, dan penjelasan makna “semuanya” yang dimaksudkan adalah: kebanyakan,” namun ini takwil yang jauh (dari kebenaran) karena dia melihat perkataannya (Aisyah) pada riwayat pertama “Sama sekali tidak kecuali Ramadhan.” Dan dikatakan pula yang dimaksud adalah beliau berpuasa Sya’ban terkadang di suatu tahun semuanya dan terkadang sebagian besarnya di tahun yang lain, dan itu makna (العطف) “penggabungan Ramadhan dan Sya’ban,” dan ini lebih dekat dengan zhohir lafaz.”
Dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terkadang berpuasa sebulan penuh selain Ramadhan.
Demikian juga dikatakan oleh Syaikh Bin Baz rahimahullah di fatawanya (15/416),
وهكذا شعبان فقد كان يصومه كله صلى الله عليه وسلم، وربما صامه إلا قليلا كما صح ذلك من حديث عائشة وأم سلمة رضي الله عنهما
“Demikian juga Sya’ban, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa semuanya dan terkadang kebanyakan harinya kecuali sedikit, sebagaimana telah shahih dari hadits Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu’anha.”
Tambahan faidah tentang puasa Sya’ban:
Pertama: Ada hadits tentang larangan mendahului Ramadhan dengan berpuasa sunnah satu atau dua hari.
Kedua: Ada hadits tentang larangan berpuasa sunnah melewati pertengahan Sya’ban.
Maka penjelasannya adalah sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari,
“Larangan tersebut bagi orang yang tidak biasa berpuasa sunnah di hari-hari itu, adapun yang sudah terbiasa maka tidak mengapa.”
Adapun hadits yang kedua dishahihkan oleh para imam: At-Tirmidzi, Al-Hakim, Ibnu Hibban, Ath-Thohawi dan Ibnu Abdil Barr, akan tetapi ditegaskan oleh Ibnu Rajab bahwa hadits ini diingkari oleh imam-imam yang lebih besar dan lebih tinggi keilmuannya seperti Abdurrahman bin Mahdi, Ahmad, Abu Zur’ah dan Al-Atsrom, dan memang berdasarkan kaidah-kaidah dalam ilmu ‘ilal hadits, maka hadits tersebut dikategorikan hadits yang mungkar, dan mungkin di kesempatan yang lain ada baiknya kita jabarkan argumentasi-argumentasi tentang kemungkaran hadits tersebut. Dan kalaupun dianggap sahih maka maknanya sama seperti penjelasan sebelumnya, yaitu larangan bagi yang tidak biasa berpuasa sunnah di hari-hari tersebut.
Kembali kepada pembahasan puasa Muharram, bukankah haditsnya mengatakan, “Puasa yang paling afdhol setelah ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram,” yang menjadi pertanyaan, mengapa justru faktanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lebih banyak berpuasa di bulan Sya’ban?
Maka penjelasannya sebagai berikut:
Dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim,
أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم تصريح بأنه أفضل الشهور للصوم وقد سبق الجواب عن إكثار النبي صلى الله عليه وسلم من صوم شعبان دون المحرم وذكرنا فيه جوابين أحدهما لعله إنما علم فضله في آخر حياته والثاني لعله كان يعرض فيه أعذار من سفر أو مرض
“Hadits tersebut sangat gamblang menunjukkan bahwa bulan yang paling afdhol untuk berpuasa (sunnah) adalah Muharram, namun telah berlalu jawaban tentang kebanyakan puasa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam adalah bulan Sya’ban bukan Muharram, maka jawabannya ada dua, yang pertama bisa jadi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam baru mengetahui keutamaannya di akhir hidupnya (sehingga belum sempat melakukannya) yang kedua bisa jadi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memiliki uzur sakit atau safar.”
Dijelaskan juga oleh Imam Ibnu Rajab dalam Lathoiful Ma’arif (56), yang intinya beliau membagi puasa sunnah ada dua:
Pertama puasa sunnah muthlaq, maka yang paling afdhol adalah puasa Muharram.
Kedua puasa yang mengiringi Ramadhan, baik sebelum dan setelahnya, maka yang ini lebih afdhol dari puasa sunnah muthlaq.
Permasalahan yang berikutnya:
Tatkala dikatakan tentang keutamaan puasa Muharram sebulan penuh atau kebanyakan harinya, demikian juga Sya’ban, maka akan timbul pertanyaan, bukankah salah seorang sahabat yang mulia yaitu Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma melarang seseorang berpuasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan?
Jawabannya sebagai berikut:
Pertama: Telah lewat penjabaran tentang anjuran dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk berpuasa Muharram dan praktek beliau tatkala berpuasa Sya’ban selama sebulan penuh dan terkadang kebanyakan harinya.
Kedua: Disebutkan dalam Mushonnaf IbnI Abi Syaibah dan yang lainnya, serta dipertegas oleh Imam Nawawi di dalam Al-Majmu’ Syarah Muhadzab bahwa banyak dari para sahabat yang berpuasa setiap hari selama sebulan penuh selama tidak memudaratkan diri sendiri maupun orang lain dengan melalaikan hak orang lain, dan selama bukan hari-hari yang dilarang berpuasa (yaitu dua hari raya dan tiga hari tasyriq). Diantara yang melakukannya Umar, Utsman, Ibnu umar, Aisyah, Abu Umamah, dan masih banyak dari para salaf yang lainnya radhiyallahu’anhum.
Kesimpulan:
Dianjurkan untuk berpuasa sebulan penuh di bulan Muharram atau kebanyakannya, demikian juga bulan Sya’ban selama tidak menimbulkan kemudaratan terhadap diri sendiri ataupun orang lain.
Dan insya Allah ta’ala pada kesempatan yang lain akan kita bahas permasalahan yang hampir sama bentuknya, yaitu hadits Aisyah radhiyallahu’anha yang menyatakan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa di hari-hari awal sepuluh Dzulhijjah, sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah disunnahkan berpuasa di hari-hari tersebut?
Dan hadits Aisyah radhiyallahu’anha juga yang menyebutkan beliau tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melakukan sholat dhuha, sehingga timbul pertanyaan, apakah sholat dhuha disunnahkan?
وبالله التوفيق والحمد لله رب العالمين
:
0 Response to "Keutamaan Puasa Muharram Sebulan Penuh"
Post a Comment